Berpengalaman sebagai administrator, writing specialist, penulisan ilmiah dan teknis, riset, feature, konten storytelling, jurnalistik, dan Designer Web dengan Elementor
Memastikan Kapabilitas untuk Masyarakat Palestina
Rabu, 14 Mei 2025 21:41 WIB
Imajinasi naratif menciptakan kosmopolitanisme yang menekankan kemanusiaan dan tanggung jawab kita bersama sebagai warga global
Suara Vatikan untuk Palestina
Pada Minggu, 11 Mei 2025, umat Katolik di seluruh dunia menandai sebuah momen penting ketika Paus Leo XIV menyampaikan berkat Minggu pertamanya dari Lapangan Santo Petrus. Peristiwa ini sangat signifikan karena dalam momen ini, Paus Leo XIV dengan penuh semangat menggemakan perdamaian dan harapan untuk mengakhiri konflik global. Paus Leo XIV secara khusus menyerukan gencatan senjata segera di Jalur Gaza, pembebasan semua sandera yang ditahan di Gaza, dan bantuan kemanusiaan diizinkan masuk ke Gaza untuk membantu penduduk sipil.
Seruan Paus Leo XIV bukanlah sentimen yang wajar dari seorang pemimpin spiritual global di hadapan tragedi kemanusiaan. Seruan itu adalah sebuah evaluasi etis terhadap situasi di Gaza, sebab di sana ada pelanggaran terhadap kapabilitas manusia. Kapabilitas berarti kemampuan nyata seseorang untuk menjalani kehidupan yang bernilai. (Martha Nussbaum, 2011).
Pelanggaran kapabilitas itu mencakup beberapa aspek yakni: Pertama, pelanggaran terhadap kehidupan itu sendiri. Hal itu terlihat dari korban jiwa yang berjatuhan dalam perang. Para korban bukan sekadar statistik, melainkan dunia yang sirna bagi individu tersebut dan orang-orang terkasihnya.
Kedua, pelanggaran terhadap kesehatan jasmani dan integritas jasmani yang nampak lewat luka-luka akibat serangan, kurangnya akses medis, dan kondisi para sandera yang tidak menentu. Di sana, hak atas keutuhan fisik serta kesehatan dasar dinafikan secara brutal.
Ketiga, mosi. Perang mengakibtakan trauma, ketakutan yang mencekam, kehilangan orang yang dicintai, dan duka yang tak berkesudahan adalah pengalaman sehari-hari bagi mereka yang terperangkap dalam perang. Akibatnya kapabilitas untuk merasakan dan mengekspresikan spektrum emosi manusia secara sehat menjadi lumpuh di bawah bayang-bayang kekerasan.
Keempat, Afiliasi. Perang menghancurkan kapabilitas untuk hidup bersama dan terlibat dalam berbagai bentuk interaksi sosial. Ketika Keluarga terpisah, komunitas tercerai-berai, rumah menjadi puing dan tetangga menjadi korban atau pengungsi, maka fondasi afiliasi mulai mengalami keruntuhan. Kelima, Nalar Praktis,
Di Palestina kapabilitas untuk membentuk konsepsi tentang kebaikan dan merencanakan hidup seseorang, menjadi hampir mustahil sebab bagaimana mungkin merencanakan masa depan Ketika hidup hanya tentang bertahan dari satu serangan ke serangan berikutnya. Keenam, Kontrol atas Lingkungan Seseorang. Di Gaza, Warga sipil kehilangan kapabilitas untuk mengendalikan lingkungan fisik mereka. Mereka kehilangan kehilangan rumah, pengungsian paksa, dan hidup dalam ketidakamanan total .
Maka dari itu, seruan Paus Leo XIV untuk gencatan senjata segera di Jalur Gaza, pembebasan semua sandera yang ditahan di Gaza, dan bantuan kemanusiaan diizinkan masuk ke Gaza untuk membantu penduduk sesungguhnya melampaui sekadar pernyataan politik atau diplomatik. Seruan ini menjadi panggilan mendalam untuk memulihkan kapabilitas atau kondisi dasar bagi eksistensi manusia yang layak di Palestina.
Pemicu Imajinasi Naratif global
Ketika Paus Leo XIV berbicara tentang gencatan senjata, maka seruan ini ia tidak hanya berbicara tentang penghentian baku tembak, tetapi mendorong kita untuk membayangkan realitas hidup masyarakat Palestina yang terjebak dalam dentuman bom dan desingan peluru, ketakutan yang mencekam anak-anak saat mendengar ledakan, trauma kehilangan anggota keluarga di depan mata, dan kecemasan konstan hidup di bawah ancaman kematian.
Demikian pula, seruan untuk pembebasan semua sandera melampaui aspek politik pembebasan tahanan. Seruan itu mengajak kita untuk merasakan horor yang dialami para sandera seperti isolasi, ketidakpastian nasib, dan penderitaan keluarga para sandera yang mana hari-hari mereka dipenuhi penantian yang menyiksa, harapan yang timbul tenggelam, dan rasa sakit atas ketidakberdayaan.
Inilah imajinasi naratif yang mendorong warga negara global untuk menempatkan diri pada posisi orang lain, membayangkan pengalaman, emosi, harapan, dan ketakutan mereka. Imajinasi naratif bukan sekadar simpati pasif, melainkan sebuah proses kognitif dan emosional aktif yang memungkinkan kita memahami dunia dari perspektif yang berbeda. (Martha Nussbaum, 1995). Karena itu, imajinasi naratif sangat diperlukan sebagai fondasi bagi kewarganegaraan global yang bertanggung jawab dan pengambilan keputusan moral yang adil terutama dalam konteks global yang kompleks. Tanpanya, kita berisiko melihat korban perang hanya sebagai statistik atau abstraksi, bukan sebagai sesama manusia dengan kehidupan batin yang kaya dan rapuh.
imajinasi naratif menjadi vital dalam pengambilan keputusan sosial dan politik dalam merespons situasi perang di Palestina karena beberapa alasan: pertama, imajinasi naratif memanusiakan korban. Ia melawan dehumanisasi yang sering menyertai perang, di mana musuh atau pihak lain direduksi menjadi target atau ancaman abstrak. Akan tetapi dengan imajinasi nararif yakni momentum membayangkan pengalaman orang lain, kita mengakui kemanusiaan mereka yang setara.
Kedua, imajinasi naratif membangun Jembatan empati. Ia memungkinkan kita merasakan sebagian kecil dari penderitaan orang lain, menciptakan koneksi emosional yang dapat memotivasi tindakan solidaritas dan upaya perdamaian. Ketiga, Imajinasi naratif menantang apatisme. Berita-berita konflik Israel-Palestina yang datang silih berganti berpotensi membuat orang untuk menjadi mati rasa.
Namun, imajinasi naratif dapat menembus kelelahan informasi ini dan menyentuh setiap orang pada level personal. Keempat, Imajinasi Naratif menginformasikan Kebijakan. Dalam konteks ini, Pemimpin dan warga negara yang mampu berimajinasi secara naratif lebih mungkin mendukung kebijakan yang memprioritaskan perlindungan sipil, bantuan kemanusiaan, dan resolusi konflik yang adil.
Jadi, imajinasi naratif menciptakan kosmopolitanisme yang menekankan kemanusiaan dan tanggung jawab kita bersama sebagai warga global dimana kita harus mengembangkan rasa memiliki komunitas global dan mengakui kewajiban kita kepada semua individu, terlepas dari kewarganegaraan atau lokasi mereka.
Pentingnya Kapabilitas dalam Respons Internasional
Perdamaian dan pemulihan di Palestina, termasuk yang digaungkan oleh pemimpin spiritual seperti Paus Leo VIX, menuntut respons yang lebih dari sekadar bantuan darurat. Hal ini karena di tengah reruntuhan fisik dan trauma kemanusiaan, tantangan sesungguhnya adalah membangun kembali tidak hanya infrastruktur, tetapi juga harapan dan potensi manusia yang hancur. Di sinilah Pendekatan Kapabilitas menawarkan kerangka kerja strategis yang transformatif.
Pendekatan Kapabilitas mendesak kita untuk bergerak melampaui bantuan karitatif sementara menuju upaya pemberdayaan jangka panjang yang memulihkan dan mengembangkan kemampuan fundamental masyarakat Palestina untuk menjalani kehidupan yang bermartabat dan mereka hargai.
Secara tradisional, respons internasional terhadap krisis kemanusiaan sering kali terfokus pada penyediaan bantuan darurat berupa makanan, air, obat-obatan, dan tempat berlindung sementara. Hal-hal ini memang vital untuk kelangsungan hidup jangka pendek. Namun pendekatan ini seringkali gagal mengatasi akar masalah atau membangun fondasi untuk pemulihan yang berkelanjutan. Karenanya pendekatan Kapabilitas menawarkan kerangka kerja evaluatif yang dapat melengkapi pendekatan karitatif.
Pendekatan kapabilitas bukan hanya fokus pada menyediakan sumber daya bagi korban perang, tetapi juga memastikan kondisi yang memungkinkan individu untuk memanfaatkan sumber daya tersebut dalam menjalani kehidupan yang mereka hargai. Hal ini termasuk menciptakan lingkungan yang mendukung individu dapat menggunakan sumber daya dan kapabilitas mereka secara bebas dan aman.
Oleh karena itu, respons internasional, termasuk Konferensi Parliamentary Union of the OIC Member States (PUIC) ke-19 atau Persatuan Parlemen Negara Anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) terhadap korban perang di Palestina perlu diarahkan dari analisis geopolitik tradisional ke dampak konflik terhadap kapabilitas individu atau sekurang-kurangnya mengamankan tingkat ambang batas dari kapabilitas sentral masyarakat Palestina yang mencakup kehidupan, kesehatan jasmani, integritas jasmani, imajinasi, emosi, nalar praktis, afiliasi, dan kontrol atas lingkungan.
Dengan demikian, upaya diplomatik dan respons internasional untuk menghentikan kekerasan dan memberikan bantuan kemanusiaan sampai di Palestina memang tetap harus dilakukan, tetapi penting juga untuk memastikan bahwa dukungan sosial politik yang adil dan berkelanjutan mesti mengarah pada potensi warga Palestina untuk membangun kembali kapabilitas mereka di tanah air mereka sendiri.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Pendidikan Katolik sebagai Arena Memoria Passionis
Selasa, 20 Mei 2025 14:06 WIB
Memastikan Kapabilitas untuk Masyarakat Palestina
Rabu, 14 Mei 2025 21:41 WIBArtikel Terpopuler